DISKUSI
PEMECATAN PRESIDEN; MENGAPA DIBATALKAN?
Oleh: Nofi Sri Utami
Dosen Fakultas Hukum
UNISMA dan Anggota Ika PDIH UNDIP
Mencuatnya/beredarnya informasi di media sosial terkait pembatalan
diskusi yang bertema Persoalan “Pemecatan Presidendi Tengah Pandemi
Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" yang diselenggarkan oleh Constitutional
Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang semestinya dilaksankan
pada Jumat 29 Mei 2020 menjadi hal yang menarik untuk dibahas dalam dunia
pendidikan. Menarik karena, berdasar informasi yang di dapat bahwa pembatalan
diskusi tersebut memiliki alasan lantaran tema diskusi yang diangkat oleh
beberapa orang dianggap menyimpang dan perlu ditindak tegas yang kemudian
disertai dengan ancaman dan teror oleh oknum tertentu yang ditujukan kepada
panitia penyelenggara beserta pemateri yang merupakan guru besar Hukum Tata
Negara Universitas Islam Indonesia sehingga berujung pembatalan. Sangat miris
dan disayangkan bukan, dunia akademik yang sepatutnya mempelajari dan
memperluas tentang keilmuan, namun sekarang dibatasi karena mendapat tekanan.
Kebebasan Dosen dan mahasiswa mengemukakan pemikiranya masih mendapatkan
perlawanan dari berbagai pihak. Salah satunya tindakan ancanam dan teror tersebut.
Secara diksi
tentang kata“pemecatan” yang memberikan kesan yang negatif ditambah lagi
kondisi dan situasi negara kita saat ini yang sedang terkena dampak covid-19.
Maka semestinya menggunakan bahasa yang
santun dan sesuai konstitusi. Secara konstitusi, yang benar mengggunakan diksi
pemberhentian/
impeachment. Sebenarnya apa itu impeachment? Banyak orang mengartikan
bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya
Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya.
Secara sosial bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari
generasi milenial (usia 17-35 tahun), yang mana karakter generasi milenial
ialah melek informasi. Hidup mereka banyak berkecimpung di dunia maya. Mereka
terkoneksi satu sama lain melalui media sosial. Kelompok kaum milenial tentunya
memiliki adaptasi politik yang berbeda dengan kelompok yang lebih tua,generasi
milenial yang relatif usia masih muda cenderung lebih dinamis dan mudah berubah
persepsi politiknya terutama jika terpengaruh oleh lingkungan. Adanya pemikiran
pemikiran terbaru dari generasi milenial, bisa menjadikan sebuah alat untuk perubahan
perubahan, tentunya berujung booming dan terkenal maupun dikenal oleh
masyarakat umum. Hal ini tak ubahnya dengan penyelenggaran diskusi yang
diadakan oleh generasi milenial yang notabene adalah mahasiswa.
Terkait
materi diskusi, tidak melanggar konstitusi, karena dari sisi keilmuan merupakan
materi dari mata kuliah Hukum Tata Negara yang biasanya di pelajari oleh
mahasiswa Fakultas Hukum. impeachment
dalam sistem ketatanegaran Indonesia, bukanlah hal yang
baru. Dikatakan bukan hal baru karena prakteknya pernah terjadi di negara
Indonesia. Yaitu pada era Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid pada
tahun 2001. Pada era Presiden Soekarno impeachment
terjadi karena ditariknya mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) melalui Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 hanya dengan alasan
mayoritas anggota MPRS tidak menerima pidato pertanggungjawaban Presiden
Soekarno, yang dinamainya Nawaksara, mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa
G 30S/PKI. jatuhnya Presiden Soekarno menunjukkan bahwa dalam praktik
ketatanegaraan Indonesia pernah terjadi impeachment terhadap presiden.
Tak ubahnya dengan pada era Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001.
munculnya argumen Presiden Abdurrahman Wahid yang dianggap telah melakukan
pelanggaran hukum dan konstitusi, sehingga para anggota DPR kemudian mengajukan
usulan memorandum yang diatur oleh TAP MPR Nomor III/MPR/1978. Memorandum
kepada presiden itu untuk meminta keterangan dalam kasus Buloggate dan
Bruneigate. Keterangan yang disampaikan oleh presiden dalam Memorandum Pertama
ditolak oleh mayoritas anggota DPR yang berakibat harus dilakukan Memorandum
Kedua. Namun pada Memorandum Kedua ini keterangan presiden tetap ditolak oleh
mayoritas anggota DPR. Dalam situasi politik yang semakin sulit dan kelanjutan
kekuasaannya terancam, maka Presiden
Abdurrahman Wahid pun lalu mengambil langkah politik mengeluarkan Dekrit
Presiden yang menyatakan membubarkan parlemen dan akan segera melakukan
pemilihan umum. Selanjutnya, anggota DPR tidak mengakui Dekrit Presiden
tersebut dan kemudian melakukan Memorandum Ketiga yang dipercepat dengan agenda
mencabut mandat terhadap presiden (impeachment).
Impeachment tersebut terjadi pada
era sebelum perubahan UUD NRI 1945. Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD
1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan
yang bersifat politik, bukan yuridis. Bagaimana dengan dengan impeachment setelah Perubahan UUD NRI
1945?
Pada Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang
semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya
mengacu pada ketentuan normatif yang
disebutkan di dalam konstitusi. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 7A dan 7B yang menyatakan bahwa alasan pemberhentian
presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ini mengartikan bahwa
ada sebab/alasan terkait pelaksanaan impeachment.
Tidak serta merta itu, bahwa proses pemberhentian tersebut hanya dapat
dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah
Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Selanjutnya bagaimana Mekanisme impeachment di Indonesia?mekanisme impeachment melalui beberapa
tahap yaitu: Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR, Tahapan kedua
proses impeachment berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK), impeachment
berada di MPR bilamana MK membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat
meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR.
Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus
melalui keputusan yang diambil dalam sidang paripurna DPR. Akan tetapi, yang menjadi
persoalan saat ini, ketentuan ketentuan mengenai impeachment yang terdapat di
dalam konstitusi tidak mengatur lebih jelas. Sehingga pada saat ini belum ada
aturan/produk hukum terkait tindak lanjut proses pemeriksaan terhadap presiden
setelah diberhentikan dari jabatanya.
Tautan : Penundaan Pilkada